One Day No Rice - Sepertinya pemerintah sudah tak bisa berbuat banyak meningkatkan produksi beras. Jurus pamungkasnya adalah mengajak rakyat mengurangi makan nasi. Pemerintah mengkampanyekan mengurangi konsumsi nasi masyarakat lewat kampanye satu hari tanpa nasi atau one day no rice. Di berbagai daerah gerakan ini sudah bergulir selama setahun ini seperti di Sumatera, NTT, NTB, Sulut dan Maluku Utara.
Kampanye ini seperti sebuah kepasrahan bahwa Indonesia cukup sulit memenuhi kebutuhan berasnya untuk konsumsi dalam negeri. Sehingga rencana ini ibarat pelan-pelan mengubah kebiasaan makan nasi 235 juta jiwa penduduk Indonesia. Tentu saja bukan sebuah hal yang mudah atau bisa dibilang sebuah kemustahilan.
Konsumsi beras di Tanah Air memang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2009 konsumsi beras nasional mencapai 139 kilogram per kapita per tahun jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat dunia hanya 60 kilogram.
Memang, produksi padi selama tiga tahun terakhir meningkat. Namun pertumbuhan produksi rata-rata hanya mencapai 4,49%. Dengan pertumbuhan produksi itu, Indonesia mencapai surplus beras (swasembada) berturut-turut 2,367 juta ton (2008), 3,895 juta ton (2009), dan 4,322 juta ton (perkiraan 2010).
Namun yang terjadi kemudian adalah setiap tahun Badan Urusan Logistik (Bulog) harus mengimpor beras. Akhir tahun ini saja Bulog akan mengimpor 300 ribu ton lagi dari Thailand untuk memenuhi stok beras 1,5 juta ton.
Dalam setiap impor beras, alasan yang dikemukakan adalah, Indonesia tidak kekurangan beras. Impor dilakukan untuk menjaga kecukupan cadangan nasional. Sehingga menjadi alasan bagi pemerintah memilih program pengurangan konsumsi beras seperti lewat ’One Day No Rice’ ini.
“Gerakan ini bagian upaya pemerintah mensukseskan diversifikasi pangan nasional dan mengurangi ketergantungan pangan pada nasi/beras sehingga stabilitas pangan bisa tetap terjaga,” papar Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Mulyono Machmur.
Pemerintah berharap dari kampanye ini, konsumsi beras bisa dikurangi dengan makanan pokok lainnya atau pangan lainnya seperti sayuran, buah-buahan, protein hewani maupun nabati. Meski ia mengakui soal diversifikasi pangan erat kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat.
Kampanye ini seperti sebuah kepasrahan bahwa Indonesia cukup sulit memenuhi kebutuhan berasnya untuk konsumsi dalam negeri. Sehingga rencana ini ibarat pelan-pelan mengubah kebiasaan makan nasi 235 juta jiwa penduduk Indonesia. Tentu saja bukan sebuah hal yang mudah atau bisa dibilang sebuah kemustahilan.
Konsumsi beras di Tanah Air memang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2009 konsumsi beras nasional mencapai 139 kilogram per kapita per tahun jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat dunia hanya 60 kilogram.
Memang, produksi padi selama tiga tahun terakhir meningkat. Namun pertumbuhan produksi rata-rata hanya mencapai 4,49%. Dengan pertumbuhan produksi itu, Indonesia mencapai surplus beras (swasembada) berturut-turut 2,367 juta ton (2008), 3,895 juta ton (2009), dan 4,322 juta ton (perkiraan 2010).
Namun yang terjadi kemudian adalah setiap tahun Badan Urusan Logistik (Bulog) harus mengimpor beras. Akhir tahun ini saja Bulog akan mengimpor 300 ribu ton lagi dari Thailand untuk memenuhi stok beras 1,5 juta ton.
Dalam setiap impor beras, alasan yang dikemukakan adalah, Indonesia tidak kekurangan beras. Impor dilakukan untuk menjaga kecukupan cadangan nasional. Sehingga menjadi alasan bagi pemerintah memilih program pengurangan konsumsi beras seperti lewat ’One Day No Rice’ ini.
“Gerakan ini bagian upaya pemerintah mensukseskan diversifikasi pangan nasional dan mengurangi ketergantungan pangan pada nasi/beras sehingga stabilitas pangan bisa tetap terjaga,” papar Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Mulyono Machmur.
Pemerintah berharap dari kampanye ini, konsumsi beras bisa dikurangi dengan makanan pokok lainnya atau pangan lainnya seperti sayuran, buah-buahan, protein hewani maupun nabati. Meski ia mengakui soal diversifikasi pangan erat kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat.
“Karbohidrat tidak hanya beras, sagu tepung atau singkong alternatif banyak,” ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kemarin mengomentari program sehari tanpa makan nasi itu.
Namun yang bakal menjadi menjadi persoalan selanjutnya, apakah ketersediaan bahan pangan lainnya sudah mencukupi. Mengingat Indonesia masih mengimpor sayuran, buah-buahan maupun nabati serta hewani yang masih harus didapat dengan harga mahal.
Sehingga yang terjadi malah biaya hidup yang dikeluarkan masyarakat bakal makin tinggi. Untuk mengalihkan konsumsi ke umbi-umbian seperti sukun, ganyong dan lain-lain tentu saja juga butuh waktu dan cukup sulit. Harus juga mengubah kebiasaan, budaya dan sugesti masyarakat yang tentu saja bukan perkara mudah.
Pengamat Ekonomi Pertanian Indef, Sugiono mengingatkan, konsumsi utama masyarakat miskin adalah beras. Menurutnya, selama ini masyarakat miskin sudah terbebani dengan harga beras yang sejak 2006 hingga 2010 ini terus mengalami kenaikan.
“Kampanye satu hari tanpa nasi ini tidak akan berpengaruh bagi masyarakat perkotaan dan menengah ke atas. Tapi berpengaruh bagi rakyat miskin. Mereka sangat peka dan bergantung dengan beras. Saya yakin ini akan sangat berdampak bagi masyarakat miskin,” imbuhnya.
Lalu akankah program ini sukses. Artinya masyarakat mengurangi makan nasi. Yang pasti warga kota besar akan bertambah ‘rakus’ mengkonsumsi makanan non beras seperti roti, kentang, mie instant hingga produk-produk hewani.
Yang artinya menimbulkan persoalan baru yakni impor gandum, tepung bahkan daging. Sementara di kawasan pedesaan, persoalan juga tak kalah pelik. Apalagi ditambah dengan masalah daya beli masyarakat yang masih sangat rendah.
Alhasil program ini hanya sebuah solusi sesaat dengan melihat faktor konsumsi dan tingginya permintaan beras sebagai biang kerok dari persoalan masih rendahnya tingkat produksi dan masalah tata niaga pertanian. Sehingga penyelesaian masalahnya dari sisi konsumsi bukan produksi